Jika kamu mengunjungi Peru, kemungkinan kamu akan mendengar seseorang
berkata, ”Hujan tidak pernah turun di Lima”—ibu kota negara itu. Sambil
menggigil dalam udara yang dingin dan lembap, kamu mungkin
bertanya-tanya apakah benar demikian.
Mungkin pernyataan ini terlampau berlebihan. Namun ada benarnya juga.
Peru memang jadi negeri dengan iklim unik di dunia ini. Kamu mungkin
harus menunggu 20 tahun untuk merasakan air hujan turun dari langit.
Wilayah Peru terletak di gurun yang sangat luas di sepanjang Pesisir
Pasifik Amerika Selatan. Tanah yang gersang ini membentang dari Gurun
Sechura yang terletak jauh di sebelah utara Peru hingga Gurun Atacama di
sebelah utara Cile.
Meskipun bertanah gersang, nyatanya pohon-pohon hijau tetap tumbuh subur
di atasnya. Suhunya pun saat musim dingin bisa mencapai 14 atau 15
derajat Celcius.
Lantas bagaimana gurun di Peru terbentuk? Gurun pesisir ini
terletak di antara Pegunungan Andes yang bergerigi dan Samudra Pasifik
yang biru. Dari kejauhan, tampaknya tidak ada sesuatu pun di sepanjang
pesisir kecuali bukit-bukit batu dan pasir yang tandus serta tidak rata
dalam berbagai gradasi warna cokelat tua dan muda. Akibat erosi, banyak
lereng bukit telah tertutupi batu-batu cokelat yang berjatuhan. Lambat
laun, batu-batu ini menuruni lereng menuju laut, kadang-kadang didorong
dengan lembut oleh gempa bumi yang sering terjadi di sini.
Sewaktu batu-batu itu mencapai pantai, deburan ombak di Pasifik sedikit
demi sedikit menggilingnya menjadi pasir, yang oleh angin dibentuk
menjadi bukit-bukit pasir berbentuk bulan sabit. Di beberapa bagian
gurun yang sangat luas ini, tercatat tidak pernah turun hujan selama 20
tahun, menjadikannya salah satu tempat terkering di bumi.
Pertanyaan kedua, mengapa tak pernah turun hujan dan menjadikan
tempat ini begitu kering? jawabannya berhubungan dengan angin pasat,
yang berembus dari timur ke barat. Seraya angin tersebut bertemu dengan
lereng Pegunungan Andes yang menjulang dan bergerigi bagaikan gergaji,
ia dipaksa naik ke atas. Seraya bergerak naik melewati Andes, anginnya
mendingin, sehingga menyebabkan kelembapan yang dibawanya berkondensasi
dan turun sebagai hujan serta salju, sebagian besar di lereng pegunungan
bagian timur. Jadi, pegunungan itu menciptakan daerah bayangan tak
berhujan di atas lereng bagian barat.
Selain itu, baik Arus Peru, atau Arus Humboldt, yang dingin yang
berembus ke arah utara Antartika maupun angin yang berembus dari Pasifik
Selatan tidak mengandung banyak kelembapan. Semua faktor ini
menghasilkan gurun yang sangat kering, walaupun tidak panas.
Pertanyaan ketiga, walau kering tapi mengapa sekaligus punya kelemabapan tinggi?
Pada musim dingin, selimut awan menggantung rendah di atas pesisir, dan
kabut yang tebal, yang disebut oleh orang Peru sebagai garúa, datang
bergulung-gulung dari Samudra Pasifik. Selama musim ini, bulan demi
bulan bisa jadi berlalu tanpa sinar matahari sedikit pun, menyebabkan
wilayah itu beriklim sangat dingin—suram, kata beberapa orang.
Meskipun wilayah tersebut terletak di daerah Tropis, suhu rata-rata
musim dingin di Lima berkisar antara 16 dan 18 derajat Celsius. Pada
musim dingin, kelembapan relatif dapat mencapai 95 persen tanpa hujan,
dan penduduk Lima, disebut Limeños, yang beradaptasi dengan baik
terhadap kondisi tersebut, membungkus tubuh mereka guna melawan hawa
dingin yang lembap dan menusuk.
Kabut tipis musim dingin cukup untuk membasahi jalan-jalan di Lima dan
juga untuk mengembalikan kehidupan tumbuhan gurun yang mati di
bukit-bukit pesisir yang tinggi. Padang rumput hijau yang dihasilkannya
dimanfaatkan oleh kawanan besar kambing, domba, dan ternak. Selain itu,
sejak awal tahun 1990-an, beberapa desa di gurun telah menggunakan
pengumpul kabut—jaring polipropilena besar, tempat kabut berkondensasi
—guna menghasilkan air, dari awan yang menggantung rendah serta
bermuatan kabut, untuk diminum dan mengairi kebun.
Namun, kelembapan yang berasal dari kabut dan awan tidaklah memadai bagi
tumbuhan liar untuk tumbuh subur sepanjang tahun. Total curah hujan di
Lima jarang melebihi 50 milimeter per tahun dan sebagian besar berasal
dari kondensasi garúa. Oleh karena itu, satu-satunya tumbuhan hijau yang
bertahan hidup di gurun pesisir tersebut adalah yang diairi oleh
sungai-sungai kecil yang mengalirkan air pembawa kehidupan dari tempat
tinggi di Andes yang berselimutkan salju. Dipandang dari angkasa, lembah
sungai kecil itu tampak seperti pita hijau yang terentang di seantero
gurun tersebut.
Bagaimana cara bertahan hidup di sini? Kebudayaan daerah pesisir kuno
Peru—misalnya suku Chimu dan Mochica (atau Moche)—membangun sistem
irigasi yang canggih. Seperti orang Mesir kuno, proyek pertanian yang
ekstensif ini menopang peradaban yang sangat terorganisasi. Orang Peru
kuno membangun kota-kota yang lebih maju, termasuk kuil-kuil piramida,
tembok-tembok besar, dan waduk-waduk, dengan menggunakan batu bata.
Karena langkanya hujan, puing-puing ini terpelihara dengan baik,
sehingga memberikan gambaran yang akurat bagi para arkeolog tentang
kehidupan pada zaman pra-Columbus di Peru. Dewasa ini, banyak permu****n
daerah pesisir masih bergantung pada terowongan air dan kanal yang
telah dipugar, yang pertama kali dibangun ribuan tahun yang lalu.
Sebagaimana yang dipelajari oleh penduduk primitif gurun tersebut, tanah
gurun sangat subur jika ada airnya. Berbagai proyek irigasi daerah
pesisir Peru modern menyediakan air yang dibutuhkan untuk menanam
beragam tanaman pangan, termasuk kapas, padi, jagung, tebu, anggur,
zaitun, dan asparagus juga sayur-sayuran serta buah-buahan lainnya.
Kini, lebih dari separuh populasi Peru sebanyak kira-kira 27 juta orang
tinggal di sepanjang pesisir pantai yang sempit.
Sewaktu Hujan Akhirnya Turun
Namun, adakalanya hujan turun di beberapa bagian gurun tersebut,
termasuk Lima. Setiap beberapa tahun, Arus Peru yang dingin menghasilkan
air yang lebih hangat yang mengalir dari Pasifik sebelah barat.
Fenomena ini, yang dikenal sebagai El Niño, menandai hujan yang segera
turun. Beberapa El Niño yang luar biasa hebat melanda pada tahun 1925,
1983, dan 1997/98. Tidak mengherankan bila penduduk gurun, yang sudah
terbiasa dengan keadaan hampir tidak ada hujan, tidak cukup siap untuk
menghadapi curahan hujan yang deras beserta banjir yang menyusul.
Salah satu banjir semacam itu melanda Ica, Peru, pada tahun 1998. Sungai
Ica merendam sebagian besar kota tersebut, dan rumah-rumah yang terbuat
dari batu bata dan lumpur pun lenyap. Bagian-bagian lain dari gurun
tersebut mendapat keuntungan, menyerap kelembapannya sehingga menjadi
padang rumput yang sangat subur. El Niño terakhir mengubah sebagian
besar Gurun Sechura menjadi taman hijau yang ditebari bunga-bunga nan
indah.